Senandika: Mencumbui kaca

Pukul 18.00 WITA, ketika selimut malam hendak membaluti cahaya matahari dengan rindu, saya mencumbui kaca. Seingat saya kejadian itu terlampau absurd sehingga saya sulit mengingatnya. Tetapi, yang mampu saya ingat adalah saya menabrak pintu masuk toko yang terbuat dari kaca. Pintu kaca minimalis itu mampu menggetarkan tulang dahi, tulang baji, tulang pelipis, tulang tapis, tulang hidung, tulang mata, tulang rongga mata dan tulang air mata. Sialnya, tulang yang terakhir saya sebutkan memberikan reaksi yang berlebihan. Reaksi itu melahirkan dua produk, yaitu derau kesakitan dan derai air mata.

Kisah sedih di hari minggu itu memaksa kuda liar ini untuk membuncahkan amarah tetapi lidah keluh nan beku. Kecerdasan emosional saya bekerja dengan kecepatan cahaya. Saya menghirup udara perlahan-lahan, sambil mengantarkan amarah kembali ke peraduannya. “Kamu yang tidak hati-hati dan tergesa-gesa, Je”, ujar kuda liar. Saya sepakat dengan pemikirannya. Setelah cukup tenang, saya memutuskan untuk kembali memasuki toko tersebut. Saya memperhatikan situasi di dalam toko dan menemukan bahwa aksi mencumbu kaca mengagetkan penjaga toko dan beberapa pembeli. Mereka turut bersedih dengan kejadian yang menimpa saya.

Pukul 22.00 WITA, ketika bayang-bayang malam membaluti cahaya rembulan dengan rindu, saya mengucap syukur kepada Tuhan yang telah tersamar dalam kisah mencumbui kaca. Saya berterima kasih kepada Daniel Goleman yang telah mengajarkan saya untuk mengendalikan pikiran sebagai kuda liar.

Akhirnya, untuk menutup senandika malam ini, saya akan memberikan satu pertanyaan Daniel Goleman tentang rahasia kehidupan: “Mengapa kecerdasan emosional lebih penting daripada kecerdasan intelektual?”.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.